Usai Covid-19 Muncul Demam Babi Afrika ,  Ditemukan di Kepri, Apa Itu?

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)-  Pasca  dicabutnya pandemic Covid-19 oleh organisasi kesehatan dunia arau Who baru-baru ini, maka keswasdaan untuk menjaga kesehatan terus dilakukan.

 Memang pada tahun 2018, dunia diguncang oleh wabah demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF). Wabah ini menyebar ke seluruh dunia dengan cepat dan menyebabkan kerugian besar pada industri peternakan babi. Namun dikabarkan baru-baru ini penyakit itu ditemukan di salah watu wilayah Indonesia. Meski dilaporkan belum menular melalui manusia. Namun kewaspadaan tetap dijaga.

ASF disebabkan oleh virus RNA yang menyerang babi domestik dan liar. Virus ini menyebar melalui berbagai cara seperti kontak langsung dengan babi yang terinfeksi, serangga, dan makanan atau benda yang terkontaminasi virus. ASF dapat menyebabkan kematian pada babi dalam waktu beberapa hari setelah infeksi, dan saat ini belum ada vaksin yang tersedia untuk mencegah virus ini.

Indonesia juga terkena dampak dari wabah ASF ini. Pada tahun 2019, Indonesia melaporkan kasus pertama ASF di negara ini. Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan untuk mencegah penyebaran virus ini.

 Beberapa tindakan yang dilakukan pemerintah antara lain adalah memperketat pengawasan dan pengendalian impor babi, menghentikan operasi peternakan babi yang terinfeksi, dan mengimbau masyarakat untuk tidak membuang sampah di dekat peternakan babi.

Namun, wabah ASF di Indonesia masih belum sepenuhnya teratasi. Sejumlah peternakan babi masih terinfeksi virus ASF, dan kebijakan impor daging babi masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Pemerintah Indonesia terus berusaha untuk mengendalikan penyebaran virus ASF dan menemukan solusi jangka panjang untuk mengatasi wabah ini.

Wabah ASF menjadi pengingat bagi dunia bahwa keamanan pangan dan kesehatan hewan sangat penting untuk menjaga kesehatan manusia dan ekonomi negara. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memperkuat sistem pengawasan dan pengendalian penyakit hewan, serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya keamanan pangan dan kesehatan hewan. Dengan demikian, diharapkan wabah penyakit hewan seperti ASF dapat dicegah dan dikendalikan dengan lebih efektif di masa depan.

Ditemukan di Kepri

Dikutip dari kompas.com, Indonesia baru-baru ini telah mengonfirmasi kembali kasus demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) di Pulau Bunan, Provinsi Kepulauan Riau.

 Pulau tersebut merupakan pemasok daging babi terbesar di Indonesia. Kementerian Pertanian pun kini sedang menginvestigasi jalur masuknya ASF di pulau tersebut. 

Peternakan babi di pulau tersebut juga telah diuji secara berkala ke Laboaratorium Veteriner Balai Veteriner Bukittinggi, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Lantas, seperti apa demam babi Afrika? 

Tentang demam babi Afrika Dikutip dari Food and Drug Administratotion AS, demam babi Afrika merupakan penyakit babi yang sangat menular dan mematikan. Virus ini pertama kali terdeteksi di Afrika Timur pada 1900-an dan menyebar ke Eropa pada akhir 1950-an. 

Virus ini dapat menyerang babi, baik di peternakan maupun babi liar. Disebutkan bahwa virus ini dapat ditularkan dengan mudah melalui kontak langsung dengan cairan tubuh babi yang terinfeksi. 

Tak hanya itu, virus ASF juga memiliki ketahanan hidup yang kuat di lingkungan dan cenderung kebal terhadap disinfektan. Praktik pemberian pakan sisa makanan mentah ke babi juga dapat menularkan virus jika sisa makanan yang diberikan mengandung produk daging babi yang terkontaminasi.

 Sejauh ini, ASF telah menyebabkan kerugian babi yang signifikan di seluruh dunia, seperti Afrika sub-Sahara, Cina, Mongolia, Vietnam, serta di beberapa bagian Uni Eropa.

Untungnya, ASF tidak dapat ditularkan dari babi ke manusia, baik kontak langsung maupun memakan daging babi yang terinfeksi. 

Gejala ASF Dikutip dari American Society for Microbiology, ASF dapat menimbulkan beberapa gejala akut hingga kronis, tergantung pada virulensi strain yang menyebabkan infeksi dan status kekebalan babi.

 Dalam kasus penyakit akut, yang disebabkan oleh strain yang sangat ganas, babi biasanya mati dalam waktu 4-20 hari setelah infeksi. Tingkat kematiannya pun sangat tinggi, yakni 95-100 persen. 

Gejalanya meliputi demam, diikuti hilangnya nafsu makan, depresi, perdarahan yang menyebabkan kulit menghitam dan batuk. Strain yang kurang ganas dapat menyebabkan penyakit kronis, dengan gejala meliputi penurunan pertumbuhan, lesi kulit, pembengkakan, dan infeksi sekunder. 

Tingkat kematian biasanya lebih rendah dalam kasus seperti itu (30-70 persen). Populasi babi hutan dan babi liar biasanya memiliki infeksi tanpa gejala, menjadikannya sebagai reservoir liar virus.***